BASIS TEORI ETIKA
1. Etika Teleologi
Dari kata
Yunani, telos =
tujuan, Mengukur baik buruknya suatu
tindakan berdasarkan tujuan yang mau dicapai dengan tindakan itu, atau
berdasarkan akibat yang ditimbulkan oleh tindakan itu.
Dua aliran
etika teleologi :
·
Egoisme Etis
·
Utilitarianisme
-
Egoisme Etis
Inti pandangan egoisme adalah bahwa
tindakan dari setiap orang pada dasarnya bertujuan untuk mengejar pribadi dan
memajukan dirinya sendiri. Satu-satunya tujuan tindakan moral setiap orang
adalah mengejar kepentingan pribadi dan memajukan dirinya. Egoisme ini baru
menjadi persoalan serius ketika ia cenderung menjadihedonistis, yaitu
ketika kebahagiaan dan kepentingan pribadi diterjemahkan semata-mata sebagai
kenikmatan fisik yg bersifat vulgar.
-
Utilitarianisme
Berasal dari
bahasa latin utilis yang berarti
“bermanfaat”. Menurut teori ini suatu perbuatan adalah baik jika membawa
manfaat, tapi manfaat itu harus menyangkut bukan saja satu dua orang
melainkan masyarakat sebagai keseluruhan. Dalam rangka pemikiran utilitarianisme, kriteria
untuk menentukan baik buruknya suatu perbuatan adalah “the greatest happiness of the greatest number”, kebahagiaan terbesar dari jumlah orang yang terbesar.
2. Deontologi
Istilah
deontologi berasal dari kata Yunani ‘deon’ yang berarti
kewajiban. ‘Mengapa perbuatan ini baik dan perbuatan itu harus ditolak sebagai
buruk’, deontologi menjawab:‘karena perbuatan pertama menjadi
kewajiban kita dan karena perbuatan kedua dilarang’. Yang menjadi
dasar baik buruknya perbuatan adalah kewajiban. Pendekatan deontologi sudah
diterima dalam konteks agama, sekarang merupakan juga salah satu teori etika
yang terpenting.
3. Teori Hak
Dalam pemikiran moral dewasa ini barangkali teori hak ini
adalah pendekatan yang paling banyak dipakai untuk mengevaluasi baik
buruknya suatu perbuatan atau perilaku. Teori Hak merupakan suatu
aspek dari teori deontologi, karena berkaitan dengan kewajiban. Hak
dan kewajiban bagaikan dua sisi uang logam yang sama. Hak didasarkan atas
martabat manusia dan martabat semua manusia itu sama. Karena itu hak sangat
cocok dengan suasana pemikiran demokratis.
.
4. Teori Keutamaan
(Virtue)
Memandang sikap
atau akhlak seseorang. Tidak ditanyakan apakah suatu perbuatan tertentu adil,
atau jujur, atau murah hati dan sebagainya. Keutamaan bisa
didefinisikan sebagai berikut : disposisi watak yang
telah diperoleh seseorang dan memungkinkan dia untuk
bertingkah laku baik secara moral.
Contoh
keutamaan :
a. Kebijaksanaan
b. Keadilan
c. Suka bekerja
keras
d. Hidup yang baik
Prinsip-Prinsip Etika Profesi
1.
Prinsip tanggung jawab
Seorang profesional harus bertanggung jawab atas
profesi yang dimilikinya.
2.
Prinsip keadilan
Prinsip yang menuntut seseorang yang profesional
agar dalam melaksanakan profesinya tidak akan merugikan hak dan kepentingan
pihak tertentu.
3.
Prinsip otonomi
Prinsip yang dituntut oleh kalangan profesional
terhadap dunia luar agar mereka diberikan kebebasan sepenuhnya dalam
menjalankan profesinya.
4.
Prinsip integritas moral
Seorang yang profesional adalah orang yang
mempunyai integritas pribadi atau moral yang tinggi.
Bisnis Sebagai Profesi yang luhur. Dunia bisnis modern mensyaratkan dan
menutut para pelaku bisnis untuk menjadi orang yang profesional.
Lingkungan
Bisnis yang mempengaruhi perilaku etika
1. Lingkungan bisnis yang
mempengaruhi Perilaku Etika
Tujuan dari
sebuah bisnis kecil adalah untuk tumbuh dan menghasilkan uang. Untuk melakukan itu, penting bahwa semua karyawan
di papan dan bahwa kinerja mereka dan perilaku berkontribusi pada kesuksesan
perusahaan.Perilaku karyawan, bagaimanapun, dapat dipengaruhi oleh faktor
eksternal di luar bisnis.Pemilik usaha kecil perlu menyadari faktor-faktor dan
untuk melihat perubahan perilaku karyawan yang dapat sinyal masalah.
a. Budaya Organisasi
Keseluruhan
budaya perusahaan dampak bagaimana karyawan melakukan diri dengan rekan kerja,
pelanggan dan pemasok. Lebih dari sekedar lingkungan kerja, budaya
organisasi mencakup sikap manajemen terhadap karyawan, rencana pertumbuhan
perusahaan dan otonomi / pemberdayaan yang diberikan kepada karyawan. "Nada di atas" sering digunakan untuk
menggambarkan budaya organisasi perusahaan. Nada positif
dapat membantu karyawan menjadi lebih produktif dan bahagia. Sebuah nada negatif dapat menyebabkan
ketidakpuasan karyawan, absen dan bahkan pencurian atau vandalisme.
b. Ekonomi Lokal
Melihat
seorang karyawan dari pekerjaannya dipengaruhi oleh keadaan perekonomian
setempat. Jika pekerjaan
yang banyak dan ekonomi booming, karyawan secara keseluruhan lebih bahagia dan
perilaku mereka dan kinerja cermin itu. Di sisi lain,
saat-saat yang sulit dan pengangguran yang tinggi, karyawan dapat menjadi takut
dan cemas tentang memegang pekerjaan mereka.Kecemasan ini mengarah pada
kinerja yang lebih rendah dan penyimpangan dalam penilaian. Dalam beberapa karyawan, bagaimanapun, rasa takut
kehilangan pekerjaan dapat menjadi faktor pendorong untuk melakukan yang lebih
baik.
c. Reputasi Perusahaan dalam Komunitas
Persepsi
karyawan tentang bagaimana perusahaan mereka dilihat oleh masyarakat lokal
dapat mempengaruhi perilaku. Jika seorang karyawan menyadari bahwa
perusahaannya dianggap curang atau murah, tindakannya mungkin juga seperti itu.
Ini adalah kasus hidup sampai harapan. Namun, jika perusahaan dipandang sebagai pilar
masyarakat dengan banyak goodwill, karyawan lebih cenderung untuk menunjukkan
perilaku serupa karena pelanggan dan pemasok berharap bahwa dari mereka.
d. Persaingan di Industri
Tingkat daya
saing dalam suatu industri dapat berdampak etika dari kedua manajemen dan
karyawan, terutama dalam situasi di mana kompensasi didasarkan pada pendapatan. Dalam
lingkungan yang sangat kompetitif, perilaku etis terhadap pelanggan dan pemasok
dapat menyelinap ke bawah sebagai karyawan berebut untuk membawa lebih banyak
pekerjaan. Dalam industri yang stabil di
mana menarik pelanggan baru tidak masalah, karyawan tidak termotivasi untuk
meletakkan etika internal mereka menyisihkan untuk mengejar uang.
2. Kesaling - tergantungan antara bisnis dan masyarakat
Alam telah mengajarkan kebijaksanaan tentang betapa hubungan yang harmonis dan
kesalingtergantungan itu adalah amat penting. Bumi tempat kita berpijak, masih
setia bekerja sama dan berkolaborasi dalam tim dan secara tim dengan
planet-planet lain, namun penghuninya kebanyakan telah berjalan
sendiri-sendiri. Manusia yang konon khalifah di bumi, merasa sudah tidak
membutuhkan manusia lainnya. Bukanlah kesalingtergantungan yang dibina,
melainkan ketergantungan yang terus diusung.
Kesalingtergantungan
bekerja didasarkan pada relasi kesetaraan, egalitarianisme. Manusia
bekerjasama, bergotong-royong dengan sesamanya memegang prinsip kesetaraan.
Tidak akan tercipta sebuah gotong-royong jika manusia terlalu percaya kepada
keunggulan diri dibanding yang lain, entah itu keunggulan ras, agama, suku,
ekonomi dsb.
Negara
telah dikuasai oleh jenis manusia yang memiliki mentalitas pedagang. Pucuk
kekuasaan telah disulap menjadi lahan bisnis, dimana dalam dunia bisnis maka
yang dikenal adalah tuan dan budak, majikan dan buruh. Dalam hal ini, yang
tercipta adalah iklim ketergantungan, bukan kesalingtergantungan.
Di
negara lain, kelas proletar yang dahulu diperjuangkan, toh setelah meraih
kekuasaan, pada gilirannya ia menjelma menjadi kelas yang istimewa, yang rigid
terhadap kritik. Hukum diselewengkan, dan bui menjadi jawaban praktis bagi para
oposan. Proletar melakukan kesalahan yang sama dengan borjuis yang dilawannya
habis-habisan.
Di abad
yang lalu, orang-orang Eropa yang berasal dari Belanda, Inggris, Spanyol dan
Portugis mengunjungi Asia termasuk negeri ini muasalnya bertujuan untuk
berdagang dengan penduduk setempat. Mereka melakukan kerjasama bisnis dengan
penduduk lokal dan beberapa elit penguasa. Pada mulanya mereka menikmati peran
sebagai partnerbisnis, lambat laun peran ini dianggap tidak lagi menarik.
Mereka pun berubah menjadi majikan, dan kelak menjajah dan memperbudak bangsa
ini hingga ratusan tahun untuk mempertahankan posisi itu dan menciptakan
ketergantungan penduduk lokal kepada mereka.
Perbudakan
adalah sesuatu yang tidak alami, menyalahi takdir sebagai manusia. Setiap
manusia berhak atas kebebasan. Namun pola perbudakan semacam itu kiranya tidak
lekang oleh zaman, meski bentuknya diubah sedikit supaya lebih beradab.
Keadaan
demikian menciptakan kericuhan di dalam masyarakat akibat hiperregulasi, karena
tingkat kepatuhan masyarakat menurun. Keamanan menjadi barang yang mahal.
Kepergian para investor karena merasa tidak aman memperparah perekonomian
Indonesia. Dalam keadaan collapse akhirnya kita memiliki ketergantungan yang
tinggi kepada negara luar.
3. Kepedulian pelaku bisnis terhadap etika
Pelaku bisnis
dituntut untuk peduli dengan keadaan masyarakat, bukan hanya dalam bentuk
“uang” dengan jalan memberikan sumbangan, melainkan lebih kompleks lagi.
Artinya sebagai contoh kesempatan yang dimiliki oleh pelaku bisnis untuk
menjual pada tingkat harga yang tinggi sewaktu terjadinya excess demand harus
menjadi perhatian dan kepedulian bagi pelaku bisnis dengan tidak memanfaatkan
kesempatan ini untuk meraup keuntungan yang berlipat ganda. Jadi, dalam keadaan
excess demand pelaku bisnis harus mampu mengembangkan dan memanifestasikan sikap
tanggung jawab terhadap masyarakat sekitarnya. Tanggung jawab sosial bisa dalam
bentuk kepedulian terhadap masyarakat di sekitarnya, terutama dalam hal
pendidikan, kesehatan, pemberian latihan keterampilan, dll.
4. Perkembangan
dalam etika bisnis
Di akui bahwa
sepanjang sejarah kegiatan perdagangan atau bisnis tidak pernah luput dari
sorotan etika. Perhatian etika untuk bisnis dapat dikatakan seumur dengan
bisnis itu sendiri. Perbuatan menipu dalam bisnis , mengurangi timbangan atau
takaran, berbohong merupakan contoh-contoh kongkrit adanya hubungan antara
etika dan bisnis. Namun denikian bila menyimak etika bisnis sperti dikaji dan
dipraktekan sekarang, tidak bisa disangkal bahwa terdapat fenomena baru dimana
etika bisnis mendapat perhatian yang besar dan intensif sampai menjadi status
sebagai bidang kajian ilmiah yang berdiri sendiri.
Masa etika bisnis
menjadi fenomena global pada tahun 1990-an, etika bisnis telah menjadi fenomena
global dan telah bersifat nasional, internasional dan global seperti bisnis itu
sendiri. Etika bisnis telah hadir di Amerika Latin , ASIA, Eropa Timur dan
kawasan dunia lainnya. Di Jepang yang aktif melakukan kajian etika bisnis
adalah institute of moralogy pada universitas Reitaku di Kashiwa-Shi. Di india
etika bisnis dipraktekan oleh manajemen center of human values yang didirikan
oleh dewan direksi dari indian institute of manajemen di Kalkutta tahun 1992.
Di indonesia
sendiri pada beberape perguruan tinggi terutama pada program pascasarjana telah
diajarkan mata kuliah etika isnis. Selain itu bermunculan pula
organisasi-organisasi yang melakukan pengkajian khusus tentang etika bisnis
misalnya lembaga studi dan pengembangan etika usaha indonesia (LSPEU Indonesia)
di Jakarta.
5. Etika bisnis dan Akuntan
Dalam menjalankan
profesinya seorang akuntan di Indonesia diatur oleh suatu kode etik profesi
dengan nama kode etik Ikatan Akuntan Indonesia. Kode etik Ikatan Akuntan
Indonesia merupakan tatanan etika dan prinsip moral yang memberikan pedoman
kepada akuntan untuk berhubungan dengan klien, sesama anggota profesi dan juga
dengan masyarakat. Selain dengan kode etik akuntan juga merupakan alat atau
sarana untuk klien, pemakai laporan keuangan atau masyarakat pada umumnya,
tentang kualitas atau mutu jasa yang diberikannya karena melalui serangkaian
pertimbangan etika sebagaimana yang diatur dalam kode etik profesi.
Akuntansi sebagai
profesi memiliki kewajiban untuk mengabaikan kepentingan pribadi dan mengikuti
etika profesi yang telah ditetapkan. Kewajiban akuntan sebagai profesional
mempunyai tiga kewajiban yaitu; kompetensi, objektif dan mengutamakan
integritas. Kasus enron, xerok, merck, vivendi universal dan bebarapa kasus
serupa lainnya telah membuktikan bahwa etika sangat diperlukan dalam bisnis.
Tanpa etika di dalam bisnis, maka perdaganan tidak akan berfungsi dengan baik.
Kita harus mengakui
bahwa akuntansi adalah bisnis, dan tanggung jawab utama dari bisnis adalah
memaksimalkan keuntungan atau nilai shareholder. Tetapi kalau hal ini dilakukan
tanpa memperhatikan etika, maka hasilnya sangat merugikan. Banyak orang yang
menjalankan bisnis tetapi tetap berpandangan bahwa, bisnis tidak memerlukan
etika.
Contoh Kasus
Sebagai Pelaku Bisnis
Pada tahun 1990 an,
bahwa Enron adalah perusahaan yang sangat bagus dan pada saat itu perusahaan
menikmati booming industri energi dan saat itulah Enron sukses memasok enegrgi
ke pangsa pasar yang begitu besar dan memiliki jaringan yang luas. Enron bahkan
berhasil menyinergikan jalur transmisi energinya untuk jalur teknologi
informasi. Dan data yang ada dari skilus bisnisnya, Enron memiliki
profitabilitas yang cukup menggiurkan. Seiring dengan booming industri energi,
akhirnya memosisikan dirinya sebagai energy merchants dan bahkan Enron disebut
sebagai ”spark spead” Cerita pada awalnya adalah anggota pasar yang baik,
mengikuti peraturan yang ada dipasar dengan sebagaimana mestinya. Pada akhirnya
Enron meninggalkan prestasi dan reputasinya baik tersebut, karena melakukan
penipuan dan penyesatan.. Sebagai perusahaan Amerika terbesar ke delapan, Enron
kemudian kolaps pada tahun 2001.
Ada 3 jenis masalah
yang dihadapi dalam Etika yaitu
1.Sistematik
Masalah-masalah sistematik dalam etika bisnis pertanyaan-pertanyaan etis yang muncul mengenai sistem ekonomi, politik, hukum, dan sistem sosial lainnya dimana bisnis beroperasi.
2. Korporasi
Masalah-masalah sistematik dalam etika bisnis pertanyaan-pertanyaan etis yang muncul mengenai sistem ekonomi, politik, hukum, dan sistem sosial lainnya dimana bisnis beroperasi.
2. Korporasi
Permasalahan
korporasi dalam perusahaan bisnis adalah pertanyaan-pertanyaan yang dalam
perusahaan-perusahaan tertentu. Permasalahan ini mencakup pertanyaan tentang
moralitas aktivitas, kebijakan, praktik dan struktur organisasional perusahaan
individual sebagai keseluruhan.
3. Individu
3. Individu
Permasalahan
individual dalam etika bisnis adalah pertanyaan yang muncul seputar individu
tertentu dalam perusahaan. Masalah ini termasuk pertanyaan tentang moralitas
keputusan, tindakan dan karakter individual.
Sumber:
http://vegaaugesriana02.blogspot.co.id/2012/10/bab-2-perilaku-etika-dalam-bisnis.htm
Perkembangan Dalam Etika Bisnis
Etika (yunani kuno : “ ethikos” ,
berarti timbul dari kebiasaan “) adalah sebuah sesuatu dimana dan bagaimana
cabang utama filsafat yang mempelajari nilai atau kualitas yang menjadi
studi mengenai standard dan penilaian moral.
Dalam ilmu ekonomi, bisnis adalah
suatu organisasi yang menjual barang atau jasa kepada konsumen atau bisnis
lainnya, untuk mendapatkan laba. Secara historis kata bisnis dari bahasa
Inggris business, dari kata dasar busy yang berarti "sibuk" dalam
konteks individu, komunitas, ataupun masyarakat. Dalam artian, sibuk
mengerjakan aktivitas dan pekerjaan yang mendatangkan keuntungan.
Dalam ekonomi kapitalis, dimana
kebanyakan bisnis dimiliki oleh pihak swasta, bisnis dibentuk untuk mendapatkan
profit dan meningkatkan kemakmuran para pemiliknya. Pemilik dan operator dari
sebuah bisnis mendapatkan imbalan sesuai dengan waktu, usaha, atau kapital yang
mereka berikan. Namun tidak semua bisnis mengejar keuntungan seperti ini,
misalnya bisnis koperatif yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan semua
anggotanya atau institusi pemerintah yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan
rakyat. Model bisnis seperti ini kontras dengan sistem sosialistik, dimana bisnis
besar kebanyakan dimiliki oleh pemerintah, masyarakat umum, atau serikat
pekerja.
Sedangkan Etika bisnis adalah
merupakan cara untuk melakukan kegiatan bisnis, yang mencakup seluruh aspek
yang berkaitan dengan individu, perusahaan dan juga masyarakat. Etika Bisnis
dalam suatu perusahaan dapat membentuk nilai, norma dan perilaku karyawan serta
pimpinan dalam membangun hubungan yang adil dan sehat dengan pelanggan/mitra
kerja, pemegang saham, masyarakat.Perusahaan meyakini prinsip bisnis yang baik
adalah bisnis yang beretika, yakni bisnis dengan kinerja unggul dan
berkesinambungan yang dijalankan dengan mentaati kaidah-kaidah etika sejalan
dengan hukum dan peraturan yang berlaku.Etika Bisnis dapat menjadi standar dan
pedoman bagi seluruh karyawan termasuk manajemen dan menjadikannya sebagai
pedoman untuk melaksanakan pekerjaan sehari-hari dengan dilandasi moral yang
luhur, jujur, transparan dan sikap yang profesional.
1. Situasi terdahulu
Berabad-abad lamanya etika berbicara
pada taraf ilmiah tentang masalah ekonomi dan bisnis sebgai salah satu topic di
samping sekian banyak topic lain. Pada awal sejarah filsafat, Plato,
Aristoteles, dan filsuf-filsuf Yunani lain meyelidiki bagaimana sebaiknya
mengatur kehidupan menusia bersama dalam Negara dan dalam konteks itu mereka
membahas juga bagaimana kehidupan ekonomi dan kegiatan niaga harus diatur.
Dalam filsafat dan teologi Abad pertengahan pembahasan ini dilanjutkan, dalam
kalangan Kristen maupun Islam, Topik-topik moral sekitar ekonomi dan perniagaan
tidak luput pula dari perhatian filsafat (dan teologi) di zaman modern.
Dengan membatasi diri pada situasi
di Amerika Serikat selama paro pertama abad ke-20, De George melukiskan
bagaimana di perguruan tinggi masalah moral di sekitar ekonomi dan bisnis
terutama disoroti dalam teologi.
Pada waktu itu di banyak universitas
diberikan kuliah agama dimana mahasiswa mempelajari masalah-masalh moral
sekitar ekonomi dan bisnis. Pembahasannya tentu berbeda, sejauh mata kuliah ini
diberikan dalam kalangan Katolik atau Protestan. Dalam kalangan Katolik, pada
umumnya mata kuliah ini mendalami “Ajaran Sosial Gereja”. Yang dimaksudkan
dengannya adalah uraian sistematis dari ajaran para paus dalam ensiklik-ensiklik
social, mulai dengan ensiklik Rerum Novarum (1891) dari Paus Leo XIII. Disini
disinggung banyak tema yang menyangkut moralitas dalam kehidupan social-ekonomi
seperti hak pekerja atas kondisi kerja yang baik dan imbalan yang pantas,
pentingnya nilai-nilai moral bertentangan dengan suasana materialitas dan
konsumeristis, keadilan social dan upaya memperbaiki taraf hidup orang miskin,
dan sebagainya. Dalam kalangan Protestan, buku teolog Jerman Reinhold Niebuhr
Moral man and Immoral Society (New York, 1932) menjalankan pengaruh besar atas
pengajaran etika mengenai tema-tema sosio ekonomi dan bisnis di perguruan
tinggi mereka.
Dengan demikian di Amerika Serikat
selama paro pertama abad ke-20 etika dalam bisnis terutama dipraktekkan dalam
konteks agama dan teologi. Dan pendekatan ini masih berlangsung terus sampai
hari ini, di Amerika Serikat maupun di tempat lain. Para paus mengeluarkan
ensiklik-ensiklik social baru sampai dengan Sollicitudo Rei Socialis (1987) dan
Centesimus Annus (1991) dari Paus Yohanes Paulus II. Suatu contoh bagus khusus
untuk Amerika Serikat adalah dokumen pastoral yang dikeluarkan oleh para uskup
Amerika Serikat dengan judul Economic Justice for All. Catholic Social Teaching
and the U.S. Economy (1986).
2. Masa Peralihan tahun 1960-an
Dalam tahu 1960-an terjadi
perkembangan baru yang bisa dlihat sebagai persiapan langsung bagi ti,bulnya
etika bisnis dalam decade berikutnya. Dasawarsa 1960-an ini di Amerika Serikat
(dan dunia Barat pada umumnya) ditandai oleh pemberontakan terhadap kuasa dan
otoritas, revolusi mahasiswa (mulai di ibukota Prancis bulan Mei 1968),
penolakan terhadap establishment (kemapanan). Suasana tidak tenang ini
diperkuat lagi karena frustasi yang dirasakan secara khusus oleh kaum muda
dengan keterlibatan Amerika Serikat dalam perang Vietnam. Rasa tidak puas ini
mengakibatkan demonstrasi-demonstrasi paling besar yang pernah disaksikan di
Amerika Serikat. Secara khusus kaum muda menolak kolusi yang dimata mereka
terjadi antara militer dan industry. Industry dinilai terutama melayani
kepentingan militer. Serentak juga untuk pertama kali timbul kesadaran akan
masalah ekologis dan terutama industri dianggap sebagai penyebab masalah
lingkungan hidup itu dengan polusi udara, air, dan tanah serta limbah beracun
dan sampah nuklir. Pada waktu yang sama timbul juga suatu sikap
anti-konsumeristis. Suasana konsumerisme semakin dilihat sebagai tendensi yang
tidak sehat dalam masyarakat dan diakibatkan oleh bisnis modern antara lain
dengan kampanye periklanan yang sering kali berlebihan. Semua factor ini
mengakibatkan suatu sikap anti bisnis pada kaum muda, khususnya mahasiswa.
Dunia pendidikan menanggapi situasi
ini dengan cara berbeda-beda. Salah satu reaksi paling penting adalah member
perhatian khusus kepada social issues dalam kuliah tentang manajemen. Bebrapa
sekolah bisnis mulai dengan mencantumkan mata kuliah baru dalam kurikulumnya
yang biasa diberi nama Business and Society. Kuliah ini diberikan oleh
dosen-dosen manajemen dan mereka menyusun buku-buku pegangan dan publikasi lain
untuk menunjang mata kuliah baru itu. Salah satu topic yang menjadi popular
dalam konteks itu adalah corporate social responsibility ( tanggung jawab
social perusahaan). Pendekatan ini diadakan dari segi manajemen dengan
sebagaian melibatkan juga hokum dan sosiologi, tetapi teori etika filosofis di
sini belum dimanfaatkan.
3. Etika bisnis lahir di Amerika
Serikat tahun 1970-an
Etika bisnis sebagai suatu bidang
intelektual dan akademis dengan identitas sendiri mulai terbentuk di Amerika
Serikat sejak tahun 1970-an. Jika sebelumnya etika membicarakan aspek-aspek
moral dari bisnis di samping banyak pokok pembicaraan moral lainnya (etika
dalam hubungan dengan bisnis), kini mulai berkembang etika bisnis dalam arti
sebenarnya. Terutama ada dua factor yang member kontribusi besar kepada
kelahiran etika bisnis di Amerika Serikat pada pertengahan tahun 1970-an.
Sejumlah filsuf mulai terlibat dalam memikirkan masalah-masalah etika sekitar
bisnis dan etika bisnis dianggap sebagai suatu tanggapan tepat atas krisis
moral yang sedang meliputi dunia bisnis di Amerika Serikat. Kita akan memandang
dua factor ini dengan lebih rinci.
Jika sebelumya hanya para teolog dan
agamawan pada tahap ilmiah membicarakan masalah-masalah moral dari bisnis, pada
tahun 1970-an para filsuf memasuki wilayah penelitian ini dan dalam waktu
singkat menjadi kelompok yang paling dominan. Beberapa tahun sebelumnya,
filsuf-filsuf lain sudah menentukan etika biomedis (disebut juga : bioetika)
sebagai suatu bidang garapan yang baru. Sebagaian terdorong oleh sukses usaha
itu, kemudian beberapa filsuf memberanikan diri untuk terjun dalam etika bisnis
sebagai sebuah cabang etika terapan lainnya. Bagi filsuf-filsuf bersangkutan
sebenarnya langkah ini merupakan perubahan cukup radikal, karena suasana umum
penelitian filsafat pada saat itu justru jauh dari masalah praktis. Pantas
dicatat lagi, dalam mengembangkan etika bisnis para filsuf cenderung bekerja
sama dengan ahli-ahli lain, khususnya ahli ekonomi dan manejemen. Dengan itu mereka
meneruskan tendensi etika terapan pada umumnya, yang selalu berorientasi
multidisipliner. Norman E. Bowie malah menyebut suatu kerja sama macam itu
sebagai tanggal kelahiran etika bisnis, yaitu konferensi perdana tentang etika
bisnis yang diselenggarakan di Universitas Kansan oleh Philosophy Departement
(Richard De George) bersama College of Business (joseph Pichler) bulan November
1974. Makalah-makalahnya kemudian diterbitkan dalam bentuk buku : Ethics, Free
Enterprise, and Public Policy: Essays on Moral Issues in Business (1978)
Faktor kedua yang memacu timbulnya
etika bisnis sebagai suatu bidang studi yang serius adalah krisis moral yang
dialami dunia bisnis Amerika pada awal tahun 1970-an. Krisis moral dalam yang
dialami dunia bisnis itu diperkuat lagi oleh krisis moral lebih umum yang
melanda seluruh masyarakat Amerika pada waktu itu. Sekitar tahun 1970 masih
berlangsung demonstrasi-demonstrasi besar melawan keterlibatan Amerika dalam
perang Vietnam. Karena perkembangan perang ini, banyak orang mulai meragukan
kredibilitas pemerintah federal di Washington dan para politisi pada umumnya.
Krisis moral ini menjadi lebih besar lagi dengan menguaknya “Watergate Affair”
yang akhirnya memaksa Presiden Richard Nixon mengundurkan diri (pertama kali
dalam sejarah Amerika). Dilatarbelakangi krisis moral yang umum itu, dunia
bisnis Amerika tertimpa oleh krisis moral yang khusus. Pada awal tahun 1970-an
terjadi beberapa skandal dalam bisnis Amerika, di mana pebisnis berusaha
menyuap politisi atau member sumbangan illegal kepada kampanye politik. Yang
mendapat publisitas paling luas antara skandal-skandal bisnis ini adalah
“Lockheed Affair”, kasus korupsi yang melibatkan perusahaan pesawat terbang
Amerika yang terkemuka ini. Kasus korupsi dan komisi seperti itu mengakibatkan
moralitas dalam berbisnis semakin dipertanyakan. Masyarakat mulai menyadari
bahwa ada suasana kurang sehat dalam dunia bisnis dan bahwa krisis moral itu
segera harus diatasi.
Sebagaian sebagai reaksi atas
terjadinya peristiwa-peristiwa tidak etis ini pada awal tahun 1970-an dalam
kalangan pendidikan Amerika dirasakan kebutukan akan refleksi etika di bidang
bisnis. Salah satu usaha khusus adalah menjadikan etika bisnis sebagai mata
kuliah dalam kurikulum perguruan tinggi yang mendidik manajer dan ahli ekonomi.
Keputusan ini ternyata berdampak luas. Jika etika bisnis menjadi suatu mata
kuliah tersendiri, harus ada dosen, buku pegangan dan bahan pengajaran lainnya,
pendidikan dosen etika bisnis haru diatur, komunikasi ilmiah antara para ahli
etika bisnis harus dijamin dengan dibukanya organisasi profesi serta jurnal
ilmiah, dan seterusnya. Misalnya, Norman E. Bowie, sekretaris eksekutif dari
American Philosophical Association, mengajukan proposal kepada National
Endowment for the Humanities (dari Kementerian Pendidikan Amerika) guna
menyusun pedoman untuk pengajaran kuliah etika bisnis. Kelompok yang yang
terdiri atas beberapa filsuf, dosen sekolah bisnis, dan praktisi bisnis ini
diberi nama Commeittee for Education in Business Eyhics dan membutuhkan tiga
tahun untuk menyelesaikan laporannya pada akhir tahun 1980. Dengan demikian
dipilihnya etika bisnis sebagai mata kuliah dalam kurikulum sekolah bisnis
banyak menyumbang kepada perkembangannya kea rah bidang ilmiah yang memiliki
identitas sendiri.
4. Etika bisnis meluas ke Eropa tahun
1980-an
Di Eropa Barat etika bisnis sebagai
ilmu baru mulai berkembang kira – kira sepuluh tahun kemudian , mula – mula di
inggris yang secara geografis maupun kultural paling dekat dengan Amerika
Serikat, tetapi tidak lama kemudian juga negara – negara Eropa Barat lainnya.
Semakin banyak fakultas ekonomi atau sekolah bisnis di Eropa mencantumkan mata
kuliah etika bisnis dalam kurikulumnya, sebagai mata kulah pilihan ataupun
wajib di tempuh. Sepuluh tahun kemudinan sudah tedapat dua belas profesor etika
bisnis pertama di universitas – Universitas Eropa. Pada tahun 1987 didirikan
European Business Ethich Network (EBEN) yang bertujuan menjadi forum pertemuan
antara akademisi dari universitas serta seklah bisnis , para pengusaha dan
wakil –wakil organisasi nasional dan internasional 9seperti misalnya serikat
buruh). Konferensi EBEN yang pertama berlangsung di Brussel (1987). Konferensi
kedua di Barcelona (1989) dan selanjutnya ada konferensi setiap tahun : milano
(1990), London (1991), Paris (1992), Sanvika , noewegia (1993), St. Gallen Swis
(1994), Breukelen , Belanda (1995), Frankfurt (1996). Sebagaian bahan
konferensi – konferensi itu telah diterbitkan dalam bentuk buku.
5. Etika bisnis menjadi fenomena global
tahun 1990-an
Dalam dekade 1990-an sudah menjadi
jelas ,etika bisnis tidak terbatas lagi pada dunia barat. Kini etika bisnis
dipeajari, diajarkan dan dikembangkan di seluruh dunia, kita mendungar tentang
kehadiran etika bisnis amerika latin, eropa timur, apalagi sejak runthnya
komunisme disana sebagai sistem politik dan ekonomi. Tidak mengherankan bila
etika bisnis mendapat perhatian khusus di negara yang memiliki ekonomi yang
paling kuat di luar dunia barat. Tanda bukti terakhir bagi sifat gllobal etika
bisnis adalah telah didirikannya international society for business management
economis and ethics (ISBEE).
Profil Etika Bisnis Dewasa Ini
Kini etika bisnis mempunyai status
imiah yang serius. Ia semakin diterima di antara ilmu – ilmu yang sudah mapan
dan memiliki ciri – ciri yang biasanya menandai sebuah ilmu. Tentu saja masih
banyak harus dikerjakan. Etika bisnis harus bergumul terus untuk membuktikan
diri sebagai disiplin ilmu yang dapat disegani. Disini kami berusaha
menggambarkan beberapa pertanda yang menunjukan setatus itu cukup meyakinkan,
sekaligus kami mencoba melukiskan profil ilmiah dari etika bisnis sebagaimana
tampak sekarang.
·
Praktis
di segala kawasan etika bisnis diberikan sebagai mata kuliah di perguruan
tinggi.
·
Banyak
sekali publikasi diterbitkan etika bisnis. Pada tahun 1987 De George menyebut
adanya paling sidikit 20 buku pegangan tentang etika bisnis dan 10 buku kasus
Amerika Serikat.
·
Sudah
ada cukup banyak jurnal ilmiah khusus tentang etika bisnis, munculnya jurnal
merupakan suatu gejala penting yang menunjukan tercapainya kematangan ilmiah
bagi bidang yang bersangkutan.
ANALISIS :
Munculnya etika dalam bisnis di
negara-negara seperti Amerika Serikat dan Eropa yang semakin berkembang
akhirnya dipraktekan di negara ASEAN termasuk Indonesia, saat ini di Indonesia
telah banyak perguruan tinggi yang mengajarkan etika dalam dunia bisnis. Selain
itu telah didirikan Lembaga Studi dan Pengembangan Etika Usaha (LSPEU) di
Indonesia.
Sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar